Rabu, 26 Januari 2011

Kompetisi dengan Spesialis Blunder dan Kado Penalti (2)

http://www.tempointeraktif.com/khusus/selusur/korupssi/page02.php

STADION seakan segera meledak. Teriakan dan nyanyian puluhan ribu suporter kedua kesebelasan memecahkan telinga. Minggu ketiga Februari tahun lalu itu Persebaya Surabaya bertamu ke kandang Arema di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, dalam kompetisi Liga Super. Aremania dan Bonek "bertempur" adu keras suara, memberi semangat kedua tim yang menyerang silih berganti.

Tak ada yang aneh sampai menjelang menit terakhir. Tiba-tiba, hanya semenit sebelum peluit panjang ditiup wasit, ketika pemain Persebaya, Anderson da Silva, berebut bola dengan pemain lawan, pemain Arema jatuh di kotak penalti Persebaya. Prittt.... Wasit Olehadi dari Tangerang menunjuk titik putih: penalti untuk Arema. Stadion seperti pecah oleh gemuruh teriakan Aremania. Kapten Arema, Pierre Njanka, mengeksekusi tendangan "12 pas" itu dengan mulus. Arema unggul satu gol.

Seusai pertandingan, Saleh Ismail Mukadar, yang ketika itu masih menjabat manajer, tak sanggup menahan marah. Dia menuntut polisi memeriksa dan menahan wasit Olehadi. Saleh menduga ada "faktor nonteknis" yang membuat Persebaya kalah. Wasit tak akan memberikan penalti jika tak ada pelanggaran yang mencolok mata. "Sejak itu saya mulai curiga kepada pemain saya sendiri," kisah Saleh tentang kejadian buruk itu.

"Faktor nonteknis" dalam sepak bola Indonesia merupakan istilah sopan pengganti "pengaturan" dari luar lapangan-sesuatu yang tak ada urusannya dengan keterampilan menggocek bola atau melesakkan bola ke gawang lawan. Klub yang hebat dalam menyerang bisa sangat frustrasi jika wasit terus-menerus meniup peluit tanda penyerang berdiri offside-berdiri di belakang barisan pertahanan lawan ketika bola dioper. Di menit-menit penghabisan, klub yang andal bisa kalah dengan konyol bila wasit mendadak memberi lawan hadiah penalti untuk pelanggaran kecil. Pemain juga punya sejuta trik untuk "mengundang" wasit memberikan kado penalti.

Penyelidikan Saleh Mukadar akhirnya mengungkap kebusukan itu. Seorang pemain tim "Bajul Ijo"-julukan Persebaya-mengaku ada lima pemain di tim itu yang bisa "dibeli" di Liga Super. Pemain belakang tim itu terkenal spesialis membuat blunder alias kesalahan fatal-yang ternyata merupakan "pesanan". Dari 22 pertandingan paruh pertama musim lalu, gawang Persebaya kemasukan 36 gol. "Kami akhirnya sepakat merombak tim," kata Saleh.

"Perdagangan gol" bukanlah barang baru. Sejumlah sumber yang dihubungi Tempo mengaku sub-agen pemain atau bahkan pemain sendiri sering datang menawarkan diri untuk bermain "sandiwara". Biasanya mereka datang sehari sebelum pertandingan. Setelah deal, manajer tim lawan akan berhubungan melalui pesan pendek. Bahkan sumber Tempo mengungkapkan, sebuah klub cukup mendapat tiket pesawat pulang untuk mau menerima kekalahan dengan selisih gol tipis.

Isi pesan pendek untuk mengatur pertandingan itu lucu-lucu. Ada yang menawarkan, "Ini ada lima kambing siap disembelih, tertarik atau tidak?" Tarif "kambing" alias pemain yang bersedia membuat timnya kalah itu bervariasi antara Rp 5 juta dan Rp 10 juta. "Besarnya tergantung tim dan penting atau tidaknya pertandingan," kata sumber itu. Pemain sering kepepet, karena gaji bulanan sering terlambat. Nilai kontrak pun kadang disunat.

Akhir Februari 2010, Persebaya akhirnya memecat pelatih Danurwindo. Pelatih senior Rudy William Keltjes masuk. Namun itu bukan akhir nasib buruk Persebaya. Dua bulan kemudian, Persebaya makin terpuruk di zona degradasi. Mereka terancam jatuh ke Divisi Utama. Pada pertandingan menentukan, melawan Persik Kediri, akhir April 2010, terjadilah insiden yang praktis membunuh peluang Persebaya.

"Empat hari sebelum pertandingan di Kediri, izin polisi tidak turun," kisah Saleh Mukadar. Alasannya, pertandingan terlalu dekat dengan pemilu. Panitia lalu memindahkan laga ke Yogyakarta sepekan kemudian. Lagi-lagi pertandingan batal. "Sesuai keputusan Komisi Disiplin, seharusnya kami menang walk-out 3-0," ujar Saleh. Dengan begitu, Persebaya lolos dari degradasi. Namun Persik meminta banding. Komisi Banding PSSI memutuskan pertandingan itu ditunda sampai Agustus. Lokasinya pun ditetapkan di Palembang. Frustrasi dengan keputusan PSSI, Persebaya menolak bertanding dan dinyatakan kalah.

Saleh pun meradang. Anggota DPRD Jawa Timur dari Fraksi PDI Perjuangan ini dengan lantang menyatakan, "Kami memang sengaja disingkirkan untuk menyelamatkan tim lain." Tim yang lolos dari zona degradasi ketika itu adalah Pelita Jaya-klub milik Grup Bakrie. Ketika ditanya, Manajer Pelita Jaya, Lalu Mara Satriawangsa, menampik tudingan Saleh. "Biasa, kalau kalah pasti marah-marah," katanya santai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar