Kamis, 27 Januari 2011

Arema dan LPI - Sponsoship

http://www.wearemania.net/aremania-voice/faq-arema-dan-lpi-sponsoship-bagian-3.aspx?Itemid=104

3. Sponsorship

Di artikel tersebut kita sudah mengetahui "kelemahan" pengurus PSSI dalam mendapatkan dan mengatur pembagian Hak Siar TV. Pembagian hak siar yang tidak merata dan terlampau kecil jumlahnya kerapkali membuat klub-klub merasa kecewa. Terutama klub yang memiliki basis pendukung yang besar dan bergantung dari pemasukan lain selain tiket penonton, sponsor dan pendapatan lainnya.

Khusus masalah sponsor, Liga Indonesia yang telah berjalan sekitar 2 dasawarsa, terhitung sejak penggabungan klub Galatama dan Perserikatan di tahun 1994. Sampai dengan saat ini produk yang menjadi sponsor utama Liga Indonesia baru terdiri dari dua segment yaitu rokok dan perbankan. Sponsor pertama Liga Indonesia yaitu Dunhill yang mensponsori selama dua musim kompetisi dari tahun 1994-1996, sedangkan saat ini Djarum salah satu produsen rokok ternama di Indonesia turut serta menyeponsori Liga Indonesia yang kini telah berubah namanya menjadi Indonesia Super League.

http://wearemania.net/images/berita/2011_01/2011_01_15_Arema_LPI_3.jpg

Pelita Jaya di Musim Pertama Liga Indonesia

Praktis sampai dengan saat ini terdapat 4 buah produk yang menjadi sponsor utama di Divisi Utama Liga Indonesia atau Indonesia Super League. Djarum menjadi sponsor terlama yang bekerja sama dengan PSSI yang sampai saat ini telah berlangsung sepanjang 6 musim kompetisi sejak tahun 2005. Bank Mandiri juga menyertai para sponsor sebelumnya dan "menguntit" di posisi kedua dengan 5 musim kompetisi dari Liga Indonesia VI(1999-2000) hingga Liga Indonesia X (2004).

Sejalan dengan era modernisasi dan perkembangan sepakbola Indonesia menuju sepakbola industri, jumlah uang yang dikucurkan para sponsor kepada para pengelola liga, PSSI selalu meningkat. Dunhill yang pertama kali menjadi sponsor kompetisi Liga Indonesia mengucurkan dana 5 Miliar rupiah selama 2 musim kompetisi dan diikuti oleh Kansas dalam jumlah yang sama. Meski mengalami kevakuman tanpa sponsor selama 2 musim kompetisi akibat krisis moneter dan kondisi politik yang kurang stabil, PSSI berhasil mendapatkan kucuran sponsor dari Bank Mandiri yang mengucurkan dana awal sebesar 7,5Miliar di tahun 1999. Akhir periode Bank Mandiri menyeponsori Liga Indonesia, PSSI mendapatkan uang 25 Miliar rupiah di tahun 2004 dan dilanjutkan dengan kerjasama dengan Djarum di tahun berikutnya dengan nilai sponsorship mencapai 28 Miliar rupiah. Saat ini nilai sponsorship antara Djarum dengan PSSI berjumlah 41,25Miliar rupiah.

Bicara mengenai sponsorship kompetisinya PSSI, sudah lazimnya terdapat beberapa klausul khusus yang telah disepakati antara PSSI dan pihak "pendonor". Umumnya klausul-klausul khusus tersebut berupa "hak monopoli" dimana tidak diperbolehkannya klub menggunakan produk sponsor yang sejenis dengan sponsor kompetisi, selain itu sponsor kompetisi memiliki keistimewaan dimana produknya "dipajang" di seluruh peserta kompetisi dengan ukuran tertentu(Pada Liga Indonesia 2005 28 klub yang mengikuti kompetisi Divisi Utama diwajibkan menempatkan produk sponsor kompetisi di bagian depan/dada kostum pemain dengan ukuran 14x11cm), mewajibkan klub untuk menyisihkan sekian A-Board di tempat strategis pinggir lapangan untuk digunakan memajang produk sponsor kompetisi, dll.

Arema Indonesia sendiri di tahun ini terpaksa "melego" belasan A-Board untuk digunakan sponsor kompetisi. Andai ada 14 ABoard tersebut yang harus disisakan untuk sponsor kompetisi, disinyalir "potensi kerugian" yang didapat Arema mencapai 49juta rupiah tiap pertandingan atau 833juta rupiah untuk seluruh rangkaian laga home kompetisi. Ini adalah hitungan minimal, dan tidak memasukkan dana yang didapat oleh panpel Arema ketika menjual A-Boardnya di laga bigmatch atau disiarkan langsung oleh televisi.

http://wearemania.net/images/berita/2011_01/2011_01_15_Arema_LPI_1.JPG

Adboard dari Djarum terlalu memakan sisi lapangan, sehingga sedikit sekali sponsor klub yang bisa dimaksimalkan

Sedangkan hak monopoli yang didapat oleh sponsor kompetisi kerap menuai kontroversi. Di tahun 2004, Bank Mandiri yang menjadi sponsor kompetisi berbenturan dengan Klub Persija yang memakai sponsor Bank DKI, dan Persela yang memakai Bank Jatim. Imbasnya, Bank Mandiri mengakhiri kontrak kerjasama sponsorship dengan PSSI dan digantikan Djarum pada musim berikutnya.

Ketika Djarum memulai kompetisi di tahun 2005 ternyata masalah hak monopoli ini kembali mengemuka. Arema yang disponsori Bentoel, Persik dengan Gudang Garam dan Persebaya dengan Sampoerna berbenturan dengan Djarum sebagai sponsor kompetisi. Tak pelak PSSI sampai mewajibkan klub untuk mencantumkan produk sponsor kompetisi dan melawang produk sejenis "tampil" di kostum pemain, ABoard maupun terpampang jelas di stadion. Akhirnya setelah kontroversi semakin merebak nan alot dicapailah kesepakatan bahwa klub boleh mencantumkan sponsornya yang sejenis dengan sponsor kompetisi namun dengan syarat wajib mencantumkan logo sponsor kompetisi di kostum pemain bagian depan. Hal ini berlangsung sampai dengan musim kompetisi tahun 2006.

Berbeda dengan "saudaranya" sesama klub di Jawa Timur, Arema memilih tidak mencantumkan logo Bentoel di kostum pemain meski tetap menyertakan logo Djarum diatas logo sponsor utama Arema. Sponsor utama Arema seperti Extra Joss dari PT Bintang Toedjoe yang kabarnya menyeponsori Arema sebesar 3,5Miliar setahun, dan XL sebuah produk seluler dari PT Excelcommindo Pratama(sekarang PT XL Axiata) turut menyeponsori Arema dengan nilai sponsorship sebesar 500juta rupiah dan kompensasi peletakan logo sponsor di lengan pemain. Kebijakan ini berlaku sampai dengan tahun 2006, karena di tahun 2007 Arema praktis mengandalkan dana CSR dari Group Rajawali(induk perusahaan Bentoel) untuk mendanai Arema. Nilai CSR(Corporate Social Responsibility) yang ditawarkan ketika itu bernilai 13-15Miliar yang berlanjut di musim berikutnya.

http://wearemania.net/images/berita/2011_01/2011_01_15_Arema_LPI_2.jpg

Hanya Logo Bentoel-Arema yang tercantum

Karena sponsor kompetisi masih dipegang oleh Djarum ketika itu, maka mau tidak mau agar kostum pemain Arema tidak nampak "kosongan" perlu di cantumkan nama/logo sponsor dari pemilik Arema itu sendiri dengan tidak menyalahi aturan kompetisi tentunya. Maka dicantumkanlah nama bentoel-arema.com di kostum pemain merujuk pada nama official site dari PS Arema itu sendiri. Pencantuman nama seperti ini mengundang rasan-rasan bernada guyonan dari penggemar sepakbola di Malang. Sebagian masyarakat meyakini bahwa pencantuman nama demikian merupakan "kecerdasan" dari manajemen Arema Malang untuk mengakali peraturan kompetisi sekaligus tetap memastikan Arema masih memiliki nilai jual di mata sponsor. Bayangkan 5 dari 7 musim Bentoel mendanai Arema dengan anggaran 7,5-15 Miliar setiap tahun dan tidak menggunakan haknya untuk mencantumkan produknya sebagai logo sponsor Arema. Barangkali inilah sponsor termahal di Liga Indonesia sampai dengan sekarang ini, kalau tidak bisa disebut sebagai keistimewaan yang jarang terjadi di sepakbola Indonesia.

Tentang anggaran sponsor kompetisi yang meningkat setiap musim, PSSI memang membagikan sponsorship itu sebagai share dan jumlahnya beragam tiap musimnya. Sebagai contoh, PSSI membagikan uang masing-masing 350juta rupiah untuk 20 klub peserta Liga Indonesia 2003 dari nilai kontrak sponsorship sebesar 25Miliar rupiah. Di tahun 2005 PSSI membagikan dana berupa subsidi kepada 16 klub di Pulau Jawa sebesar 300juta rupiah, luar pulau Jawa(Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi) sebesar 350juta rupiah dan Papua(Persipura) 750juta rupiah. Turun dari musim kompetisi tahun 2004 yangmasing-masing sebesar 380juta, 500juta dan 1Miliar rupiah.

Musim berikutnya(tahun 2006) subsidi dari PSSI sebesar 600juta rupiah yang terbagi kedalam 28 klub. Dan di tahun 2007-2008 turun secara merata menjadi 300juta rupiah untuk 36klub. Sedangkan di era ISL, seperti ISL 2009/2010 PSSI tidak memberikan subsidi berupa uang namun mobil operasional bermerk Suzuki APV. Baru di ISL berikutnya subsidi klub diganti berupa uang sebesar 300jtua rupiah yang digunakan untuk 18klub(sekarang berkurang menjadi 15 klub pasca mundurnya Persibo, Persema dan PSM).

Jika diambil besarnya nilai sponsorship yang mengalami kenaikan dari tiap musim kompetisi maka bisa diambil kesimpulan bahwa sepakbola Indonesia berkembang menuju sepakbola industri. Namun jika dilihat lebih detail terlihat adanya ketimpangan dalam hal pembagian share sponsorship antara PSSI yang diwakili oleh BLI(Badan Liga Indonesia) dan klub-klub pesertanya.

Di tahun 2003 PSSI mengeluarkan 7Miliar rupiah untuk digunakan sebagai subsidi untuk 20 klubnya. Jika besarnya nilai sponsorship ketika itu adalah 25Miliar maka share sponsorship kompetisi antara Klub dan PSSI adalah 28% - 72%. Dimana angka 28% diambil dari 7Miliar yang didapat 20 klub dibagi dengan nilai sponsorship keseluruhan setelah dikurangi nilai sponsorship yang diterima oleh 20klub tersebut (7Miliar).

Dengan cara yang sama kita dapat mengkalkulasikan share nilai sponsorship di tahun 2006(28 klub) sebesar 48% - 52% dengan total nilai sponsorship sebesar 35Miliar rupiah. Tahun 2007(36 klub) sebesar 30,8% - 69,2% dengan total nilai sponsorship yang sama dengan tahun sebelumnya. Namun di ISL 2010-2011 share sponsorship yang diterima oleh 15klub(setelah sebelumnya berjumlah 18 klub) berkurang dimana masing-masing klub mendapatkan 300juta rupiah. Artinya share kompetisi yang diterima oleh klub berjumlah 10,9%(4,5Miliar rupiah) berbanding 89,1% dari nilai keseluruhan sponsorship yang diterima oleh PSSI dan berjumlah 41,25Miliar rupiah.

Terlepas mundurnya 3 klub ISL(Persema, Persibo dan PSM) dimana PSSI akan mendapatkan penalti dari Djarum selaku sponsor kompetisi tentang kerugian2 yang diderita sponsor sesuai klausul kontraknya, mestinya PSSI tidak bersifat pelit dalam mengucurkan dana. Jika di tahun 2006 PSSI sanggup memberikan share sponsorship kompetisi sebesar 48% untuk klub dengan jumlah peserta sebanyak 28klub, kenapa sekarang turun drastis menjadi 10,9%(dari potensi sebelumnya sebesar 13,09% dari nilai kontrak sponsorship sebelum mundurnya 3 klub). Saya kira uang yang didapat PSSI dari Djarum terlampau besar untuk "dinikmati" sendiri.

Di Arema saja logo Djarum selaku sponsor kompetisi terdapat di lengan pemain dan Aboard di pinggir lapangan. Total di setiap pertandingan terdapat 14buah A-Board Djarum yang diwajibkan dipasang di pinggir lapangan sesuai dengan Manual ISL musim ini. 14 buah A-Board tersebut letaknya menyebar tiga disisi utara, delapan di sisi timur dan tiga di sisi selatan. Ditambah 4 buah ABoard sponsor pendukung liga dan 2 lainnya untuk keperluan lain, maka Panpel Arema hanya menyisakan 20 buah A-Board untuk dijual sebagai sponsornya.

Pertanyaannya di harga berapakah PSSI seharusnya menghargai subsidi yang mestinya diberikan ke klub sebagai ganti pencantuman logo sponsor kompetisi?

Saya sengaja ambil sample Arema, karena klub ini merupakan satu dari sekian klub yang terbuka memberikan informasi tentang anggaran dan pendapatan klub. Di pertandingan non bigmatch dan siaran langsung Panpel Arema menjual sebuah A-board dengan harga 3,5juta rupiah perpertandingan dan 5juta rupiah di laga bigmatch dan siaran langsung. Andai harga tertinggi rata-rata penjualan Aboard di ISL musim ini merujuk pada angka 3,5juta rupiah per Aboard dan perpertandingan maka dapat kita hitung pendapatan yang diterima oleh klub sebagai berikut:


1. Pencantuman logo sponsor kompetisi di lengan = 500juta rupiah
(Cat : Arema mendapatkan harga ini ketika menerima sponsorship dari salah satu perusahaan seluler di tahun 2005)
2. Pencantuman di 14 buah ABoard untuk satu musim kompetisi = 3,5juta * 14 * 17 pertandingan home = 833juta rupiah
Maka total yang mesti didapatkan oleh klub adalah 1,333Miliar rupiah.

Dengan catatan penghitungan pada pencantuman logo sponsor kompetisi pada baliho, spanduk, tiket masuk pertandingan, website klubdan event/tempat pencantuman lainnya tidak dihitung.

Andai jumlah klub merujuk pada kesepakatan awal(18 klub) maka sharing dana yang diberikan oleh PSSI kepada klub sebesar 23,994Miliar rupiah. Dengan dana tersebut maka share sponsorship kompetisi menjadi 58,1% untuk klub berbanding 41,9% untuk BLI/PSSI yang dapat digunakan sebagai fee. Angka tersebut sebenarnya masih sangat ideal dibanding share sponsorship LPI sebesar 80% untuk peserta dan 20% untuk fee dan pembiayaan kompetisi.

Sudah sewajarnya bukan jika dari tahun ke tahun share sponsorship ini mesti meningkat? Terutama untuk klub hingga mendekati atau syukur-syukur sama dengan titik ideal yang disepakati oleh klub dan PSSI. Apa daya PSSI tidak jua mengulurkan tangan untuk membahas share sponsorship ini dengan klub peserta liga hingga dicapai kata puas dari kedua pihak. Barangkali kejadian mundurnya 3 klub dari ISL musim ini tidak perlu terjadi jika PSSI aware dengan peserta liganya. Dan barangkali pula jika yang dikeluhkan oleh PSSI mengenai ketiadaan upaya diatas berupa kebutuhan dana PSSI yang besar dan pemasukan yang terbatas maka jawabannya simple saja. Lakukan Efisiensi atau perbanyak pos-pos pendapatan PSSI yang legal dan tidak merugikan kepentingan lain. Mampukah PSSI? (Oke Sukoraharjo)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar